Isak Lukisan Bunda
Tubuh
mungilnya menggigil. Tangan kecilnya mulai keriput. Ia mengigit bibir bawahnya
dengan keras. Basah kuyup. Bagaimana tidak, ia hanya mengenakan kaos tipis
lengan pendek berwarna biru cerah yang sejak pagi setia melekat. Gagal menahan air hujan yang merambat
kesetiap pori-pori tubuhnya.
“Huaaaaahh…udah jam berapa ya?
Huaah…” Tanpa rasa malu mulutnya terbuka lebar.
“Aduh
ngantuk banget” gadis polos situ bergumam.
Jemari kecilnya kembali meraih mantel plastik yang
tergeletak sempurna ditrotoar. Sebuah mantel yang terbuat dari potongan plastik
warna-warni yang dijahit sembarang. Ia mendesah. Tak mau memakai. Lebih baik
basah terkena air hujan daripada harus menggunakan mantel plastik norak buatan
bunda. Pikirnya. Berkali-kali ia minta dibelikan sebuah payung kepada sang
ibunda, namun ibunda tetap menolak. Akhirnya
mau tak mau karena hujan yang kian mengamuk. Dengan malas ia mengeratkan mantel
plastik itu sambil berlari kecil ke sela-sela deretan mobil yang terjebak macet
disepanjang jalan pusaran kota, menjajakan satu dua lukisan berukuran A4 karya
lama sang ibunda.
“Permisi lukisannya om tante”
suaranya terdengar sedikit parau.
Tak
ada balasan dibalik mobil mewah itu. Dengan acuh mengabaikan kehadiran gadis
polos yang sedari tadi menunggu secercah
harapan dibalik pintu. Ia melangkah kederetan mobil sebelahnya.
“Permisi lukisannya om tante”
Ia
nampak senang. Diturunkan kaca mobil itu setengahnya oleh seorang ibu-ibu bermake
up tebal dengan gaya bicaranya yang terkesan menjengkelkan.
“Eh anak kecil! Minggir! Uh mobil
saya jadi bau kan kena baju lusuh kamu. mantel plastik apalagi yang kamu pake
ieeuuh! Udah-udah nih” melemparkan uang lima ribu kepada gadis polos itu.
“Ish
kecil-kecil udah jadi pengemis” desisnya pelan.
Gadis
polos itu menatap tidak mengerti.
“Tante
tante ini uangnya kurang. Lukisan bunda saya harganya lima puluh ribu”
“Eh
ini apaan sih?! Udah ya ambil aja uangnya. Lagian siapa juga yang mau beli
lukisan jelek kayak gitu. Udah pak ayo jalan.” Ibu-ibu itu memerintahkan
sopirnya untuk terus merayap diatas beceknya aspal.
“Tante
lihat dulu tante, lihat dulu lukisan bunda saya. Lukisan bunda ini tidak akan
rusak meskipun terkena air hujan. Lukisan plastik anti basah tante…tante…tante…“
mobil itu terus merayap ditengah kemacetan yang padat.
Langit
siang tak hentinya meringis, meluapkan emosi yang kian buncah. Gadis polos itu terlihat putus asa. Ia
melipir ke sebuah toko buku. Setiba
didepan pintu, langkahnya menjauh, menyadari kondisi tubuhnya yang tidak
memungkinkan untuk masuk. Terlebih ia mengenakan mantel plastik yang menjadi
olokan renyah teman-temannya. Gadis polos itu mengurungkan niat.
“Nak!
Nak! Sini lah. Mau kemana?” Tanya seorang laki-laki setengah baya berkumis
tipis tanpa melangkah keluar karena tercegat oleh guyuran hujan.
Gadis
itu menoleh. Menatapnya dingin. Ia meneruskan langkahnya.
“Nak
tunggulah sebentar!” laki-laki setengah baya itu mengejar ia yang tak kunjung
menghentikan langkahnya.
“Ya
Allah nak cepatnya langkamhu. Sampai-sampai setengah hari saya mengejar” Ia
tersenyum memuji.
“Tidak
mungkin. Masa dari situ kesini sampe setengah hari. Pembohong huuuu” gadis
polos itu mengerucutkan bibir.
“Hehe.
Iya deh maaf paman bohong.”
“Ada
apa?”
“Kamu
gak kasihan apa sama paman, paman kehujanan nih. Boleh gak paman minjem mantel plastiknya?”
“Ih
gak boleh dong inikan buatan bunda. Gak mau!”
“Kenapa
tadi paman lihat kamu membuang mantel
plastiknya hayo.”
“Bukannya
dibuang, aku hanya menaruhnya sebentar. “ Ia berbohong.
Laki-laki
setengah baya itu tertawa kecil.
“Ia
deh aku gak akan buang lagi”
“Nah,
gitu dong. Sekarang kamu mau kemana?”
“Biasa”
Ia
tahu maksud perkataan si gadis polos. Laki-laki setengah baya itu selalu mengamatinya dari jauh, bukan
maksud apa-apa ia hanya mengkhawatirkan keadaan anak mantan kekasihnya itu. Ya,
laki-laki setengah baya itu sempat menjalin cinta dengan ibu gadis polos itu.
Namun, ia bukanlah ayah kandungnya. Entahlah, semua terjadi begitu saja.
Langit siang kini memancarkan kilau cayahaya
dibalik gulungan awan yang menghitam. Meskipun nampak cahaya, tetap saja
guyuran hujan tak mau dikalahkan. Setelah mengumpulkan energi, gadis polos itu
kembali berteriak menjajakan lukisan plastik anti basah karya ibunya.
“Permisi
lukisannya om” gadis polos itu menawarkan lukisan kepada laki-laki muda dengan
perawakannya yang gagah, tengah asik melukiskan kemacetan kota.
Gadis
itu mengintip dari balik kaca mobilnya.
“Wuiihh
ngelukis om? Dimobil kok ngelukis sih om?” kepalanya celingkukan sambil sedikit
berjalan mengikuti laju mobil.
Laki-laki
muda itu terganggu konsentrasinya. Ia melirik kearah kaca.
“Argh!
Siapa pula ini. ” sambil membuka kaca mobil.
“Ada
apa?” Tanya laki-laki itu.
“Enggak
om. Saya hanya heran kenapa om malah ngelukis?”
“Prinsip
hidup “ Jawabnya. Matanya beralih pandang ke sebuah lukisan yang belum laku
terjual.
“Lihat
lukisannya.” Pintanya.
Tanpa
banyak omong, gadis itu langsung memberikan lukisannya. Laki-laki itu terkejut,
napasnya tercekat. Seketika ia turun dari mobil memangku gadis kecil itu dan
melangkahkan kaki keluar dari zona macet. Entah apa yang ia pikirkan, ia
meninggalkan mobilnya begitu saja. Ia tidak mempedulikan ocehan pengendara
lain. Terlalu egosi memang.
“Mana
ibu kamu? biarkan saya menemuinya!”
Gadis
polos itu mengangguk pelan tanpa heran. Tidak membutuhkan waktu lama mereka
sudah sampai disebuah kontrakan kecil berukuran enam kali empat diujung gang.
Gadis itu mengucapkan salam dan memberitahu ibunya akan kedatangan laki-laki
itu. Ibunya menghampiri.
“Mas
Adrian” Ibunya terkejut. Dadanya terguncang hebat.
Adrian
adalah murid les Reina. Ibu gadis polos itu. Adrian SMA adalah seorang remaja
yang memiliki bakat melukis yang luar biasa sehingga membuat Reina jatuh hati
kepadanya. Adrian pun sama. Kenyamanan yang diberikan oleh Reina berhasil
merangkul jiwanya. Reina tidak hanya berperan sebagai guru bagi Adrian,
melainkan sebagai sosok istimewa sekaligus cinta pertamanya. Namun sayang,
karena terpaut usia yang jauh orang tua mereka tidak setuju dengan hubungannya.
Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa restu dari pihak keduanya. Baru
saja dua bulan menikah, Adrian memutuskan kembali kerumah orang tuanya. Ia
dikabari atas berita yang memilukan tentang kematian ibunya yang diduga bunuh
diri akibat ulahnya sendiri. Selepas itu Adrian tak pernah menampakan batang
hidungnya kepada Reina.
“Maafkan
saya Ren. Saya hilap. Maafkan saya. Ternyata kamu masih menyimpan lukisan itu.
Maafkan saya” suaranya parau. Ia tertunduk. Seketika air matanya pecah. Tak
kuasa menahan emosi yang kian menyeruak. Ia tersendat-sendat.
“Inikah
anak kita Ren?” Tanya Andrian.
Ibu
gadis polos itu mengangguk pelan.
Laki-laki
itu memeluk erat tubuh mungil gadis kecil itu.
“Maafkan
papah…maafkan papah…maafkan papah..” Keduanya terisak. Gadis polos itu pun
mengerti.
Gadis
polos itu namanya Tantia. Seorang gadis kecil berusia kurang dari sembilan
tahun berbalut mantel plastik basah yang menjajakan lukisan karya ibunya, berusaha meraup
rejeki ditengah macet total pusaran kota yang secara kebetulan berhasil
mempertemukan ia dengan ayah kandungnya.
#KMP2SMI
#ODOPBACHT7
#KOMUNITASODOP
Kisahnya😢
BalasHapusEm hihhi. Makasih Kak udah baca
BalasHapus