Minggu, 15 September 2019

Cerpen



Isak Lukisan Bunda

Tubuh mungilnya menggigil. Tangan kecilnya mulai keriput. Ia mengigit bibir bawahnya dengan keras. Basah kuyup. Bagaimana tidak, ia hanya mengenakan kaos tipis lengan pendek berwarna biru cerah yang sejak pagi  setia melekat. Gagal menahan air hujan yang merambat kesetiap pori-pori tubuhnya.

            “Huaaaaahh…udah jam berapa ya? Huaah…” Tanpa rasa malu mulutnya terbuka lebar.

“Aduh ngantuk banget” gadis polos situ bergumam.

 Jemari kecilnya kembali meraih mantel plastik yang tergeletak sempurna ditrotoar. Sebuah mantel yang terbuat dari potongan plastik warna-warni yang dijahit sembarang. Ia mendesah. Tak mau memakai. Lebih baik basah terkena air hujan daripada harus menggunakan mantel plastik norak buatan bunda. Pikirnya. Berkali-kali ia minta dibelikan sebuah payung kepada sang ibunda, namun ibunda tetap menolak.  Akhirnya mau tak mau karena hujan yang kian mengamuk. Dengan malas ia mengeratkan mantel plastik itu sambil berlari kecil ke sela-sela deretan mobil yang terjebak macet disepanjang jalan pusaran kota, menjajakan satu dua lukisan berukuran A4 karya lama sang ibunda.

            “Permisi lukisannya om tante” suaranya terdengar sedikit parau.

Tak ada balasan dibalik mobil mewah itu. Dengan acuh mengabaikan kehadiran gadis polos  yang sedari tadi menunggu secercah harapan dibalik pintu. Ia melangkah kederetan mobil sebelahnya.

            “Permisi lukisannya om tante”

Ia nampak senang. Diturunkan kaca mobil itu setengahnya oleh seorang ibu-ibu bermake up tebal dengan gaya bicaranya yang terkesan menjengkelkan.

            “Eh anak kecil! Minggir! Uh mobil saya jadi bau kan kena baju lusuh kamu. mantel plastik apalagi yang kamu pake ieeuuh! Udah-udah nih” melemparkan uang lima ribu kepada gadis polos itu.

“Ish kecil-kecil udah jadi pengemis” desisnya pelan. 

Gadis polos itu menatap tidak mengerti.

“Tante tante ini uangnya kurang. Lukisan bunda saya harganya lima puluh ribu”

“Eh ini apaan sih?! Udah ya ambil aja uangnya. Lagian siapa juga yang mau beli lukisan jelek kayak gitu. Udah pak ayo jalan.” Ibu-ibu itu memerintahkan sopirnya untuk terus merayap diatas beceknya aspal.

“Tante lihat dulu tante, lihat dulu lukisan bunda saya. Lukisan bunda ini tidak akan rusak meskipun terkena air hujan. Lukisan plastik anti basah tante…tante…tante…“ mobil itu terus merayap ditengah kemacetan yang padat. 

Langit siang tak hentinya meringis, meluapkan emosi yang kian buncah.  Gadis polos itu terlihat putus asa. Ia melipir  ke sebuah toko buku. Setiba didepan pintu, langkahnya menjauh, menyadari kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan untuk masuk. Terlebih ia mengenakan mantel plastik yang menjadi olokan renyah teman-temannya. Gadis polos itu mengurungkan niat.

“Nak! Nak! Sini lah. Mau kemana?” Tanya seorang laki-laki setengah baya berkumis tipis tanpa melangkah keluar karena tercegat oleh guyuran hujan.

Gadis itu menoleh. Menatapnya dingin. Ia meneruskan langkahnya.

“Nak tunggulah sebentar!” laki-laki setengah baya itu mengejar ia yang tak kunjung menghentikan langkahnya.

“Ya Allah nak cepatnya langkamhu. Sampai-sampai setengah hari saya mengejar” Ia tersenyum memuji.

“Tidak mungkin. Masa dari situ kesini sampe setengah hari. Pembohong huuuu” gadis polos itu mengerucutkan bibir.

“Hehe. Iya deh maaf paman bohong.”

“Ada apa?”

“Kamu gak kasihan apa sama paman, paman kehujanan nih. Boleh gak paman  minjem mantel plastiknya?”

“Ih gak boleh dong inikan buatan bunda. Gak mau!”

“Kenapa tadi paman  lihat kamu membuang mantel plastiknya hayo.”

“Bukannya dibuang, aku hanya menaruhnya sebentar. “ Ia berbohong.

Laki-laki setengah baya itu tertawa kecil.

“Ia deh aku gak akan buang lagi”

“Nah, gitu dong. Sekarang kamu mau kemana?”

“Biasa”

Ia tahu maksud perkataan si gadis polos. Laki-laki setengah baya  itu selalu mengamatinya dari jauh, bukan maksud apa-apa ia hanya mengkhawatirkan keadaan anak mantan kekasihnya itu. Ya, laki-laki setengah baya itu sempat menjalin cinta dengan ibu gadis polos itu. Namun, ia bukanlah ayah kandungnya. Entahlah, semua terjadi begitu saja.

 Langit siang kini memancarkan kilau cayahaya dibalik gulungan awan yang menghitam. Meskipun nampak cahaya, tetap saja guyuran hujan tak mau dikalahkan. Setelah mengumpulkan energi, gadis polos itu kembali berteriak menjajakan lukisan plastik anti basah karya ibunya.  

“Permisi lukisannya om” gadis polos itu menawarkan lukisan kepada laki-laki muda dengan perawakannya yang gagah, tengah asik melukiskan kemacetan kota.

Gadis itu mengintip dari balik kaca mobilnya.

“Wuiihh ngelukis om? Dimobil kok ngelukis sih om?” kepalanya celingkukan sambil sedikit berjalan mengikuti laju mobil.

Laki-laki muda itu terganggu konsentrasinya. Ia melirik kearah kaca.

“Argh! Siapa pula ini. ” sambil membuka kaca mobil.

“Ada apa?” Tanya laki-laki itu.

“Enggak om. Saya hanya heran kenapa om malah ngelukis?”

“Prinsip hidup “ Jawabnya. Matanya beralih pandang ke sebuah lukisan yang belum laku terjual.

“Lihat lukisannya.” Pintanya.

Tanpa banyak omong, gadis itu langsung memberikan lukisannya. Laki-laki itu terkejut, napasnya tercekat. Seketika ia turun dari mobil memangku gadis kecil itu dan melangkahkan kaki keluar dari zona macet. Entah apa yang ia pikirkan, ia meninggalkan mobilnya begitu saja. Ia tidak mempedulikan ocehan pengendara lain. Terlalu egosi memang.

“Mana ibu kamu? biarkan saya menemuinya!”

Gadis polos itu mengangguk pelan tanpa heran. Tidak membutuhkan waktu lama mereka sudah sampai disebuah kontrakan kecil berukuran enam kali empat diujung gang. Gadis itu mengucapkan salam dan memberitahu ibunya akan kedatangan laki-laki itu. Ibunya menghampiri.

“Mas Adrian” Ibunya terkejut. Dadanya terguncang hebat.

Adrian adalah murid les Reina. Ibu gadis polos itu. Adrian SMA adalah seorang remaja yang memiliki bakat melukis yang luar biasa sehingga membuat Reina jatuh hati kepadanya. Adrian pun sama. Kenyamanan yang diberikan oleh Reina berhasil merangkul jiwanya. Reina tidak hanya berperan sebagai guru bagi Adrian, melainkan sebagai sosok istimewa sekaligus cinta pertamanya. Namun sayang, karena terpaut usia yang jauh orang tua mereka tidak setuju dengan hubungannya. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menikah tanpa restu dari pihak keduanya. Baru saja dua bulan menikah, Adrian memutuskan kembali kerumah orang tuanya. Ia dikabari atas berita yang memilukan tentang kematian ibunya yang diduga bunuh diri akibat ulahnya sendiri. Selepas itu Adrian tak pernah menampakan batang hidungnya kepada Reina.    

“Maafkan saya Ren. Saya hilap. Maafkan saya. Ternyata kamu masih menyimpan lukisan itu. Maafkan saya” suaranya parau. Ia tertunduk. Seketika air matanya pecah. Tak kuasa menahan emosi yang kian menyeruak. Ia tersendat-sendat.

“Inikah anak kita Ren?” Tanya Andrian.

Ibu gadis polos itu mengangguk pelan.

Laki-laki itu memeluk erat tubuh mungil gadis kecil itu.

“Maafkan papah…maafkan papah…maafkan papah..” Keduanya terisak. Gadis polos itu pun mengerti.

Gadis polos itu namanya Tantia. Seorang gadis kecil berusia kurang dari sembilan tahun berbalut mantel plastik basah yang menjajakan lukisan karya ibunya, berusaha meraup rejeki ditengah macet total pusaran kota yang secara kebetulan berhasil mempertemukan ia dengan ayah kandungnya.

#KMP2SMI

#ODOPBACHT7

#KOMUNITASODOP

2 komentar:

ULASAN CERITA PENDEK KAMAR MANDI MERTUA A.    ORIENTASI Cerita pendek yang berjudul Kamar Mandi Mertua merupakan maha karya yang ...