Selasa, 01 Oktober 2019


GALERI ANAK TUKANG KAYU

Fajar masih malu-malu menampakan diri di ufuk timur.  Kumandang adzan telah usai lima menit lalu. Satu dua kokokan ayam terdengar tanpa kantuk. Ruang tengah beralaskan papan kayu jati yang masih lengang disulap menjadi ruang shalat. Bukan maksud apa-apa ini karena istana kami masih setengah jadi. Permasalahan ekonomi masih setia mengikat keluarga kami. Beruntung beberapa tahun lalu aku masih merasakan serba kecukupan, jauh dari keadaan yang sekarang. Dua sejadah biru navi tergelar rapi mengajak kehusyu’an. Satu menjadi imam dan yang satu menjadi makmum. Sang imam mengakhiri shalat dengan salam. Dia adalah ayahku.

Kali ini ada yang berbeda dengan raut wajah ayahku ketika memohon doa. Kulirik sejenak wajah lelah yang tengah menitikan air mata. Cukup lama Ayah menengadah memanjatkan doa begitu khusyu’. Sementara fokusku buyar karena tercium aroma telor ceplok mengisi ruangan.

Neng sarapan dulu!” teriak Ibu.

“Iya Mah” spontan aku menjawab meskipun sedang berdoa.

Ayahku pun mengakhiri doanya. Aku mendekat meraih, mencium lembut punggung tangannya. Hatiku teriris ketika bibirku menyentuh permukaan kulitnya yang  kasar. Wajar saja, karena Ayahku bekerja sebagai tukang kayu. Seketika air mataku buncah. Memohon maaf dan meminta restu akan keberangkatanku. Hatiku campur aduk, antara senang dan gelisah. Semoga ini adalah pilihan yang tepat. Setelah gagal daftar di beberapa Universitas impian. Akhirnya Allah memberikan jalan yang membuat beban keluargaku tidak begitu berat. Aku ditawari beasiswa di Perguruan Tinggi Swasta dengan syarat mengajar al-Qur’an di salah satu Yayasan yang sudah berdiri satu abad lamanya. Sebuah Yayasan yang senantiasa melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas. Kabarnya.   

Ayah memang bukan tipikal orang tua yang rewel dengan masa depan anaknya. Ia selalu memberikan kebebasan dalam menentukan pilihan hidup selama itu baik bagiku. Selama hidupku bersentuhan dengan al-Qur’an, mendekap hangat al-Qur’an, ayahku akan dengan mudah mengizinkan.

Ma, Eneng mau berangkat, doakan Eneng ya Ma

Aku memanggil ayahku dengan sebutan Mama. Tanpa huruf H diujung kata ketika di baca. Mama adalah panggilan khas daerahku. Sebuah panggilan yang sering digunakan untuk memanggil tokoh-tokoh ulama. Kenapa aku memanggilnya Mama padahal Ayahku bukanlah seorang ulama? Mungkin beberapa orang menanyakan hal ini. Itu adalah sebuah bentuk penghormatan kepada orang tua. Memuliakan seorang Ayah yang telah mengurusi dan menjaga anaknya.

Kesunyian terganggu oleh segukanku yang tiada henti. Ayah pun larut dalam tangis. Merangkul, mengusap kepala dengan tulus. Ayah tidak berkata banyak. Ia hanya menitipkan pesan untuk tetap menjaga al-Qur’an.

Neng cepetan udah siang! Nanti ketinggalan mobil!” teriak Ibu dari dapur.

“Iya Mah sebentar pake kerudung dulu”

            Aku menuruni tangga yang terbuat dari kayu. Ya, rumahku berlantai dua namun jauh dari kata mewah. Hidup di bantaran sungai memaksa kami untuk membangun rumah berlantai dua. Jaga-jaga jika air sungai meluap, masih ada tempat untuk bermalam. Lantai bawah sengaja di kosongkan untuk menaruh karya-karya Ayahku. Impian membuat galeri mebel selalu terngiang dalam benaknya. Sungguh hatiku pilu.

            Aku menghampiri Ibu yang tengah menyendokan nasi untuku.

            “Gak papa Mah, biar aku aja” tanganku mencegah.

            “Ah, sudahlah duduk saja”

Aku menurut. Disediakan pula segelas teh jahe untuk menghangatkan badan. Ibu memang begitu pengertian. Ia bahkan menyetrika baju yang akan aku kenakan selagi aku sibuk di kamar mandi. Aku begitu malu karena dulu sikapku tidak begitu baik padanya. Aku bahkan membencinya. Karena, ia telah mengambil posisi ibu kandungku yang tujuh tahun lalu berpulang menuju alam peristirahatan.  

Ayah menghidupkan Legenda andalannya. Cepat-cepat aku menghabiskan suapan dan meneguk air hangat.

Neng hayu  ajak ayah.

“Iya Ma” sambil memboyong bawaan dan berpamitan.

“Hati-hati ya Neng. Semoga selamat” suaranya terdengar berat. Terlihat air mata tertahan menggenang. Tak sempat aku berpamitan kepada kedua adiku yang tertidur pulas.  

“Mah” air mataku kembali buncah tak tertahan. Kupeluk erat punggung kurus itu. Bahuku terasa basah oleh derai air mata Ibu.  

Langit masih biru navi, fajar belum begitu menyinar terang. Hanya lampu senter yang menunjukan jalan.

Bersambung…

#KMP2SMI

#ODOPBACTH7

#KOMUNITASODOP

#DAY23

2 komentar:

  1. yang ini mah enggak ada mantannya ya teh? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di chancel dulu kang hihi nanti caw lagi, lagi kumpul-kumpul inspirasi

      Hapus

ULASAN CERITA PENDEK KAMAR MANDI MERTUA A.    ORIENTASI Cerita pendek yang berjudul Kamar Mandi Mertua merupakan maha karya yang ...