GALERI ANAK TUKANG KAYU
Fajar
masih malu-malu menampakan diri di ufuk timur. Kumandang adzan telah usai lima menit lalu. Satu
dua kokokan ayam terdengar tanpa kantuk. Ruang tengah beralaskan papan kayu
jati yang masih lengang disulap menjadi ruang shalat. Bukan maksud apa-apa ini
karena istana kami masih setengah jadi. Permasalahan ekonomi masih setia
mengikat keluarga kami. Beruntung beberapa tahun lalu aku masih merasakan serba
kecukupan, jauh dari keadaan yang sekarang. Dua sejadah biru navi tergelar rapi
mengajak kehusyu’an. Satu menjadi imam dan yang satu menjadi makmum. Sang imam
mengakhiri shalat dengan salam. Dia adalah ayahku.
Kali
ini ada yang berbeda dengan raut wajah ayahku ketika memohon doa. Kulirik
sejenak wajah lelah yang tengah menitikan air mata. Cukup lama Ayah menengadah
memanjatkan doa begitu khusyu’. Sementara fokusku buyar karena tercium aroma telor
ceplok mengisi ruangan.
“Neng
sarapan dulu!” teriak Ibu.
“Iya
Mah” spontan aku menjawab meskipun sedang berdoa.
Ayahku
pun mengakhiri doanya. Aku mendekat meraih, mencium lembut punggung tangannya. Hatiku
teriris ketika bibirku menyentuh permukaan kulitnya yang kasar. Wajar saja, karena Ayahku bekerja
sebagai tukang kayu. Seketika air mataku buncah. Memohon maaf dan meminta restu
akan keberangkatanku. Hatiku campur aduk, antara senang dan gelisah. Semoga ini
adalah pilihan yang tepat. Setelah gagal daftar di beberapa Universitas impian.
Akhirnya Allah memberikan jalan yang membuat beban keluargaku tidak begitu
berat. Aku ditawari beasiswa di Perguruan Tinggi Swasta dengan syarat mengajar
al-Qur’an di salah satu Yayasan yang sudah berdiri satu abad lamanya. Sebuah Yayasan
yang senantiasa melahirkan lulusan-lulusan yang berkualitas. Kabarnya.
Ayah
memang bukan tipikal orang tua yang rewel dengan masa depan anaknya. Ia selalu
memberikan kebebasan dalam menentukan pilihan hidup selama itu baik bagiku. Selama
hidupku bersentuhan dengan al-Qur’an, mendekap hangat al-Qur’an, ayahku akan
dengan mudah mengizinkan.
“Ma,
Eneng mau berangkat, doakan Eneng ya Ma”
Aku
memanggil ayahku dengan sebutan Mama. Tanpa huruf H diujung kata ketika di baca.
Mama adalah panggilan khas daerahku. Sebuah panggilan yang sering digunakan
untuk memanggil tokoh-tokoh ulama. Kenapa aku memanggilnya Mama padahal Ayahku
bukanlah seorang ulama? Mungkin beberapa orang menanyakan hal ini. Itu adalah
sebuah bentuk penghormatan kepada orang tua. Memuliakan seorang Ayah yang telah
mengurusi dan menjaga anaknya.
Kesunyian
terganggu oleh segukanku yang tiada henti. Ayah pun larut dalam tangis. Merangkul,
mengusap kepala dengan tulus. Ayah tidak berkata banyak. Ia hanya menitipkan
pesan untuk tetap menjaga al-Qur’an.
“Neng
cepetan udah siang! Nanti ketinggalan mobil!” teriak Ibu dari dapur.
“Iya
Mah sebentar pake kerudung dulu”
Aku menuruni tangga yang terbuat
dari kayu. Ya, rumahku berlantai dua namun jauh dari kata mewah. Hidup di
bantaran sungai memaksa kami untuk membangun rumah berlantai dua. Jaga-jaga
jika air sungai meluap, masih ada tempat untuk bermalam. Lantai bawah sengaja
di kosongkan untuk menaruh karya-karya Ayahku. Impian membuat galeri mebel
selalu terngiang dalam benaknya. Sungguh hatiku pilu.
Aku menghampiri Ibu yang tengah
menyendokan nasi untuku.
“Gak papa Mah, biar aku aja”
tanganku mencegah.
“Ah, sudahlah duduk saja”
Aku
menurut. Disediakan pula segelas teh jahe untuk menghangatkan badan. Ibu memang
begitu pengertian. Ia bahkan menyetrika baju yang akan aku kenakan selagi aku
sibuk di kamar mandi. Aku begitu malu karena dulu sikapku tidak begitu baik
padanya. Aku bahkan membencinya. Karena, ia telah mengambil posisi ibu
kandungku yang tujuh tahun lalu berpulang menuju alam peristirahatan.
Ayah
menghidupkan Legenda andalannya. Cepat-cepat aku menghabiskan suapan dan meneguk
air hangat.
“Neng
hayu” ajak ayah.
“Iya
Ma” sambil memboyong bawaan dan berpamitan.
“Hati-hati
ya Neng. Semoga selamat” suaranya terdengar berat. Terlihat air mata tertahan
menggenang. Tak sempat aku berpamitan kepada kedua adiku yang tertidur pulas.
“Mah”
air mataku kembali buncah tak tertahan. Kupeluk erat punggung kurus itu. Bahuku
terasa basah oleh derai air mata Ibu.
Langit
masih biru navi, fajar belum begitu menyinar terang. Hanya lampu senter yang
menunjukan jalan.
Bersambung…
#KMP2SMI
#ODOPBACTH7
#KOMUNITASODOP
#DAY23
yang ini mah enggak ada mantannya ya teh? hehe
BalasHapusDi chancel dulu kang hihi nanti caw lagi, lagi kumpul-kumpul inspirasi
Hapus