TRADISI
MENYIMPANG DALAM PERBEDAAN PENDAPAT
Kebebasan berpendapat
sering kali disalah artikan. Niatnya mengkritik alih-alih mencaci maki. Bibir begitu
renyah melontarkan hujatan-hujatan yang menyayat hati. Kesalahan orang lebih
terlihat dibanding kesalahan sendiri seakan-akan telah menjadi sebuah tradisi. Semudah
itukah menyalahkan orang lain?
Ketika dihadapkan
dengan perbedaan pendapat, emosi meluap menyusuri urat. Bagi orang berilmu
tinggi dan mumpuni perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar, bebas
dari ujaran kebencian yang kini selalu menjadi titik merah perselisihan. Jarang
sekali ulama rasikhuun menjatuhkan lawannya demi sebuah kepuasan batin
belaka. Mengapa kebanyakan dari kita malah berpaling dari aturan dan anjuran?
Perbedaan pendapat
yang didasari oleh hawa nafsu dan fanatisme merupakan perbedaan pendapat yang
tercela. Setiap pendapat yang tidak sejalan dianggap salah bahkan yang lebih
parah berfatwa menghalalkan darahnya. Pendapat yang mengandalkan hawa nafsu
akan menjadi pribadi yang sombong, merasa paling benar diantara yang benar. Sangat jauh dari Islam yang menanamkan kasih
sayang.
Kita tengok sekilas
kisah dua orang pemuda yang diutus oleh Rasulullah saw. Sepanjang perjalanan
mereka tidak mendapatkan air, sementara waktu shalat telah tiba. Kemudian keduanya
bertayamum sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Selepas
bertayamum mereka melaksanakan shalat dan melanjutkan perjalanan, tidak lama
kemudian mereka mendapati air di saat masih ada waktu shalat. Disinilah terjadi
perbedaan pendapat di antara keduanya. Pemuda yang satu memilih untuk berwudlu
kembali dan mengulangi shalatnya, sementara pemuda yang satu lagi memilih tidak
berwudlu dan tidak mengulangi shalatnya karena dirasa cukup dengan alasan
shalat wajib itu hanya 17 rakaat tidak kurang dan lebih. Ketika keduanya
menemui Rasulullah saw. Mereka bertanya mengenai perkara tersebut. Maka
Rasulullah berkata kepada pemuda yang mengulangi shalatnya :
لَكَ الأَجْرُمَرَّتَيْنِ
Artinya : “Bagimu pahala dua kali”.
Lalu rasulullah saw. berkata pada pemuda yang tidak mengulangi
wudlu dan shalatnya.
أصَبْتَ السُّنَّةَ
وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ
Artinya : “Kamu telah mengikuti (melakukan sesuai) sunnah dan shalatmu itu
cukup (sah)”.
Begitu pandai dan lemah lembutnya Rasulullah saw. tak ada yang
tersinggung hati apalagi terlukai fisiknya tanpa menyalahkan salah satu pendapat.
Itulah pentingnya bertutur kata baik pada sesama.
Perbedaan pendapat
tidak akan pernah ada habisnya sampai hari kiamat tiba. Dalam berpendapat
hendaklah mengatur emosi dan rendahkan hati agar terhindar dari penyakit dengki.
Rasulullah saw. saja tidak pernah memaki atau menghujat orang-orang yang tidak
sepemikiran dengan beliau. Lantas mengapa kita yang bukan siapa-siapa
seolah-olah menghakimi selayaknya Tuhan yang bersifat al- Hakam? Tanamkan husnudzan
bukan suudzan. Sehingga ketika kita berpulang tidak meninggalkan tinta
hitam dihati orang lain.
#KMP2SMI
#ODOPBACTH7
#KOMUNITASODOP
#DAY18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar