Kamis, 26 September 2019


TRADISI MENYIMPANG DALAM PERBEDAAN PENDAPAT

Kebebasan berpendapat sering kali disalah artikan. Niatnya mengkritik alih-alih mencaci maki. Bibir begitu renyah melontarkan hujatan-hujatan yang menyayat hati. Kesalahan orang lebih terlihat dibanding kesalahan sendiri seakan-akan telah menjadi sebuah tradisi. Semudah itukah menyalahkan orang lain?  

Ketika dihadapkan dengan perbedaan pendapat, emosi meluap menyusuri urat. Bagi orang berilmu tinggi dan mumpuni perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar, bebas dari ujaran kebencian yang kini selalu menjadi titik merah perselisihan. Jarang sekali ulama rasikhuun menjatuhkan lawannya demi sebuah kepuasan batin belaka. Mengapa kebanyakan dari kita malah berpaling dari aturan dan anjuran?

Perbedaan pendapat yang didasari oleh hawa nafsu dan fanatisme merupakan perbedaan pendapat yang tercela. Setiap pendapat yang tidak sejalan dianggap salah bahkan yang lebih parah berfatwa menghalalkan darahnya. Pendapat yang mengandalkan hawa nafsu akan menjadi pribadi yang sombong, merasa paling benar diantara yang benar.  Sangat jauh dari Islam yang menanamkan kasih sayang.

Kita tengok sekilas kisah dua orang pemuda yang diutus oleh Rasulullah saw. Sepanjang perjalanan mereka tidak mendapatkan air, sementara waktu shalat telah tiba. Kemudian keduanya bertayamum sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Selepas bertayamum mereka melaksanakan shalat dan melanjutkan perjalanan, tidak lama kemudian mereka mendapati air di saat masih ada waktu shalat. Disinilah terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya. Pemuda yang satu memilih untuk berwudlu kembali dan mengulangi shalatnya, sementara pemuda yang satu lagi memilih tidak berwudlu dan tidak mengulangi shalatnya karena dirasa cukup dengan alasan shalat wajib itu hanya 17 rakaat tidak kurang dan lebih. Ketika keduanya menemui Rasulullah saw. Mereka bertanya mengenai perkara tersebut. Maka Rasulullah berkata kepada pemuda yang mengulangi shalatnya :

لَكَ الأَجْرُمَرَّتَيْنِ

Artinya : “Bagimu pahala dua kali”.

Lalu rasulullah saw. berkata pada pemuda yang tidak mengulangi wudlu dan shalatnya.

أصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ  

Artinya : “Kamu telah mengikuti (melakukan sesuai) sunnah dan shalatmu itu cukup (sah)”.

Begitu pandai dan lemah lembutnya Rasulullah saw. tak ada yang tersinggung hati apalagi terlukai fisiknya tanpa menyalahkan salah satu pendapat. Itulah pentingnya bertutur kata baik pada sesama.

Perbedaan pendapat tidak akan pernah ada habisnya sampai hari kiamat tiba. Dalam berpendapat hendaklah mengatur emosi dan rendahkan hati agar terhindar dari penyakit dengki. Rasulullah saw. saja tidak pernah memaki atau menghujat orang-orang yang tidak sepemikiran dengan beliau. Lantas mengapa kita yang bukan siapa-siapa seolah-olah menghakimi selayaknya Tuhan yang bersifat al- Hakam? Tanamkan husnudzan bukan suudzan. Sehingga ketika kita berpulang tidak meninggalkan tinta hitam dihati orang lain.



#KMP2SMI

#ODOPBACTH7

#KOMUNITASODOP

#DAY18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ULASAN CERITA PENDEK KAMAR MANDI MERTUA A.    ORIENTASI Cerita pendek yang berjudul Kamar Mandi Mertua merupakan maha karya yang ...